Pages

PENYAKIT PLEURA

Dalam artikel tentang Penyakit Pleura ini akan dibicarakan pula mengenai pneumotoraks, walaupun pada fistula bronkopleura yang terkena adalah hanya pada pleura viseralis. Pneumotoraks semakin memegang peranan penting oleh karena semakin tingginya angka kecelakaan lalu lintas, dimana trauma toraks dapat menyebabkan terjadinya pneumotoraks. Disamping itu banyak pula terdapat pneumotoraks primer yang penyebabnya tidak diketahui.

Terdapatnya efusi pleura bukan merupakan suatu penyakit yang jarang dalam ilmu paru. Sekalipun efusi pleura dapat ditimbulkan oleh berbagai sebab, antara lain dekompensasi kordis, sindroma nefrotik, sirosis hepatic, sindroma Meigs, dan berbagai penyakit lainnya, akan tetapi penyebab yang paling sering dari penyakit ini adalah tuberculosis paru. Terapinya adalah dengan mengurangi jumlah cairan pleura yang terjadi yang mana merupakan penyebab dari proses penyakit tersebut.


Mesotelioma yang ganas (maligna), yakni suatu tumor ganas dari mesofel pleura akan dibicarakan pula dalam bab ini. Oleh karena pertumbuhannya kea rah parenkim paru maka tumor ini merupakan tumor yang makin sering ditemukan


Efusi Pleura
Pengertian
Ada dua penyebab terjadinya efusi pleura dengan sifat yang berbeda, yakni neoplastik dan non-neoplastik. Pada yang non-neoplastik dasarnya adalah bertambahnya permeabelitas kapiler pleura atau menurunnya tekanan osmotic intrakapiler pleura. Pada yang neoplastik cairan efusinya dapat berupa cairan transudat atau eksudat. Transudat hanya dapat dilewati oleh cairan saja tanpa disertai protein plasma. Pada yang neoplastik disebut juga dengan hemoragika oleh karena dapat pula dilewati oleh sel-sel darah, terutama eritrosit. Pada kilotoraks dalam cairan pleura terdapat kilomikron.

Transudat
Pada cairan transudat, selain memiliki serum protein yang rendah (dibawah 0,5), juga memiliki LDH yang rendah (dibawah 0,6). Penyebab utama terjadinya cairan transudat ini adalah :
  • Dekompensasi kordis
  • Sindroma nefrotik
  • Sirosis hepatic
  • Sindroma Meigs
  • Akibat dari tindakan dialysis peritoneal
  • Dapat pula oleh obstruksi dari traktus urinarius
Eksudat
Dasar dari pembentukan cairan eksudat ini adalah karena meningginya permeabilitas kapiler, sehingga kadar protein lebih tinggi dari 0,5 gram/100 cc cairan efusi dan kadar LDH lebih tinggi dari 0,6. bocornya pembuluh darah ini menyebabkan cairan eksudat kaya akan protein, sel dan berbagai debris. Cairan eksudat terjadi terutama pada proses infeksi paru. Salah satu bentuk dari cairan eksudat adalah apa yang disebut dengan efusi parapneumorik, yakni eksudat yang disertai dengan sel-sel inflamasi. Bentuk yang lainnya adalah empiema, yakni bukan saja diakibatkan oleh peradangan, akan tetapi ditemukannya bakteri yang dapat dibuktikan dengan terbentuknya empiema. Hal ini juga dapat melalui fase eksudat, dimana cairan yang masih steril akan berlanjut menjadi seropurulen, sehingga dapat ditemukan bakteri dan sel-sel PMN (Polimorphonuclear Neutrophyl Leukocytes). Fase parapneumonia ini ditandai dengan turunnya pH dan kadar glukosa, dan pada fase empiema ditandai dengan terjadinya konsolidasi yang disertai dengan penebalan pleura.

Terjadinya cairan eksudat antara lain disebabkan oleh infeksi oaru akibat Pneumococcus, Staphylococcus, Haemophyllus influenza dan Eschericia coli, sedangkan dari kuman gram negative dapat disebabkan oleh Pseudomonas.

Klinis
Sesak napas merupakan gejala yang utama, baik pada transudat maupun pada eksudat. Gejala klinis yang terjadi dapat disebabkan oleh kelainan paru primer. Pada tindakan dialysis peritoneum, transudat dapat terjadi dalam waktu 48 jam setelah dilakukan tindakan dialysis dan pada umumnya terjadi pada paru kanan. Pada epiema gejalanya lebih hebat, yakni berupa panas, menggigil dan penurunan berat badan. Gejala epiema yang muncul tergantung dari terbentuk tidaknya fistula ke bronkus, yakni berupa fistula bronkopleura. Bila tidak terjadi fistula, maka gejalanya akan tetap berat, sementara itu apabila telah terjadi fistula maka gejalanya akan lebih ringan.

Diagnosis
Hasil yang positif pada foto toraks dan tindakan pungsi merupakan suatu diagnosis pasti. Walaupun pada pemeriksaan fisik didapatkan suatu pekak pada perkusi dan suara pernapasan yang menghilang ditambah dengan egofoni pada auskulturasi, akan tetapi pada foto toraks harus dapat dibuktikan adanya cairan meniscus. Gerakan cairan dapat dibuktikan dengan melakukan foto lateral dekubitus. Foto lateral dekubitus lebih dapat membuktikan adanya efusi pleura. Pemeriksaan dengan USG dan CT-scan penting dalam mengetahui lokasi cairan untuk tujuan pungsi, terutama untuk cairan yang terdapat pada beberapa tempat (lokulasi).

Efusi oleh karena Neoplasma
Sembilan puluh persen (90%) dari proses keganasan pada permulaannya adalah diketemukannya cairan eksudat yang kemudian menjadi cairan yang hemoragik. Cairan hemoragik yang terdapat pada efusi pleura akibat dari adenokarsinoma dapat berasal dari berbagai organ tubuh. Untuk membuktikan bahwa cairan pleura yang terjadi adalah oleh karena keganasan maka harus dapat dibuktikan dengan melakukan pemeriksaan sitologi. Angka ini akan menjadi lebih tinggi apabila disertai dengan biopsy pleura, yakni berkisar antara 70-90%.

Toraksinoma
Torakosintesis adalah suatu tindakan pengambilan cairan pleura yang bertujuan untuk membedakan apakah cairan tersebut transudat, eksudat atau empiema. Disamping itu juga dilakukan berbagai pemeriksaan kimia dari cairan pleura, antara lain glukosa, pH dan kadar LDH, selain pemeriksaan leukosit bakteriologi, sitologi dan mikosis.

Berdasarkan jenis sel pada efusi pleura maka cairan pleura dapat dibagi atas :
  • Efusi limfosit, terutama disebabkan oleh proses tuberculosis atau keganasan. Pada keganasan banyak terdapat mesotel di dalam cairan pleura, disamping sel limfosit, sedangkan pada tuberculosis tidak ditemukan sel mesotel, oleh karena dihancurkan oleh proses tuberculosis.
  • Efusi hemoragik dapat disebabkan oleh keganasan dan dapat pula oleh karena infark paru. Pada infark paru cairan pleura dapat mengandung mesotel, dimana harus dibedakan dengan mesotelioma.
  • Hemotoraks, terutama terjadi pada trauma toraks. Pendarahan yang terjadi sering diakibatkan oleh akrena rupturnya aorta.
  • Proses infeksi dapat menghasilkan sel PMN (Polymorphonuclear Neutrophyl Leukocytes) dalam cairan pleura. Pada empiema hamper semuanya terdiri dari sel netrofil. Pada efusi pleura yang disebabkan oleh pneumonia maka yang terbanyak ditemukan adalah limfosit.
  • Eosinofil walaupun jarang tetapi dapat terjadi oleh infark paru dan infeksi oleh virus atau bakteri. Selain dapat pula terjadi pada berbagai penyakit lainnya, seperti ameba pada abses hati, penyakit hidatidosa, poliarteritis nodosa dan mungkin juga keganasan, serta penyakit paru lainnya.
  • Sel epiteloid dengan multinukleus terutama terjadi pada efusi pleura yang disebabkan oleh lupus eritematosus.
Terapi
  • Bila cairan yang terjadi tidak banyak, maka cukup diberikan kemoterapi untuk mengontrol jumlah cairan pada efusi pleura
  • Bila cairan yang terjadi lebh banyak dan sampai menibulkan gejala ekspansi cairan, maka dialkukan tindakan pungsi
  • Bila cairan yang terjadi terlalu banyak, dimana perlu dilakukan tindakan pungsi yang berulang-ulang sehingga dapat menyebabkan gangguan elektrolit, maka perlu dilakukan pleurosiderosis, asal saja harus diingat tidak terdapat perlengketan pleura (lokulasi) dan atelektasis yang terjadi bukan disebabkan oleh obstruksi bronkus. Cara ini tingkat manfaanya adalah sebesar 75%.
Untuk efusi pleura dengan cairan transudat dan eksudat perlu dilakukan torakosintesis (pungsi) dengan tujuan untuk mengurangi sesak napas, selain itu harus pula diobati penyakit dasarnya. Pada empiema perlu dipasang WSD dengan chest tube (pipa dada) yang besar, maka harus dilakukan reseksi iga. Disamping itu perlu pula dipertimbangkan untuk memberikan obat-obat enzimolitik, seperti streptokinase secara intrapleura.
Hubungan antara susunan kimia dari cairan pleura dengan pemasangan WSD :
  • Pada eksudat bila pH lebih kecil dari 7,20, glukosa lebih besar dari 40 mg% dan LDH lebih kecil dari 1.000 UI/liter, maka tidak perlu dilakukan pemasangan WSD, oleh karena memberi reaksi yang baik terhadap pengobatan.
  • Bila pH lebih kecil dari 7,00 dan glukosa lebih rendah dari 40 mg%, maka efusi pleura tersebut merupakan komplikasi dan perlu segera dipasang WSD.
  • Bila pH lebih kecil dari 7,30 dan konsentrasi glukosa lebih kecil dari 60 mg%, disertai dengan sitologi yang positif, maka perlu dilakukan pleurosiderosis, oleh karena terjadi pembentukan cairan yang intensif.
Underwater seal (WSD) adalah cara yang paling efektif untuk membuat katup (valve), dimana cairan dan udara dapat dikeluarkan dari toraks.
Dalam melakukan pemasangan WSD harus diingat :
  • Harus tidak ada kebocoran
  • Diklem bila botol tidak digunakan
  • Posisi botol harus dibawah toraks
  • Metoda harus asepsis
  • Drain harus diangkat setelah 24 jam
  • Pipa dada harus diganti setelah 7-10 hari digunakan
Kilotoraks
Kilotoraks adalah suatu keadaan dimana terdapatnya cairan limfe di pleura. Warna cairan ini seperti susu, hal ini disebabkan oleh karena terdapatnya kilomikron, yakni butir-butir lemak denagn ukuran 1 mikron yang diserap dari kompleks trigliserida dengan lipoprotein, fosfolipid dan kolesterol.

Melalui duktus limfatikus cairan ini sampai ke duktus toraksikus dan oleh karena suatu sebab maka cairan ini masuk ke pleura. Penyebab yang paling sering adalah trauma, tetapi dapat juga nontrauma, bahkan dapat pula penyebabnya tidak diketahui (idiopatik).

Bila terjadi trauma, misalnya, maka kilotoraks akan berkumpul di mediastinum dan bila mediastinum ini robek, maka cairan ini akan masuk ke dalam pleura. Pada penyebab yang nontrauma, terutama disebabkan oleh kelainan dari duktus torasikus dan keadaan ini merupakan 50-60% dari kasus dibandingkan dengan yang trauma, aykni hanya 10-40% dari kasus.

Sedangkan pada yang trauma, terutama disebabkan oleh kelainan congenital, yakni fistula antara duktus toraksikus dengan pleura. Tumor limfoma, fibrosis mediastinum, limfangiomiomatosis pulmonal, keseluruhannya dapat menyebabkan terjadinya kilotoraks.

Patofisiologi
Pengangkatan duktus toraksikus tidak menimbulkan kilotoraks. Hal ini sebagai bukti bahwa adanya system kolateral yang bekerja pada duktus tersebut  sebanyak 10-30% dari kilotoraks penyebabnya tidak diketahui.

Diagnosis
Diagnosis dibuat atas dasar analisis kualitatif dan kuantitatif dari cairan pleura, dimana pada analisis kualitatif didapatkan konsentrasi lemak lebih dari 110 mg% dan pada analisis kuantitatif terutama didapatkan adanya trigliserida. Secara elektroforesis dapat ditemukan adanya lipoprotein, dan selain itu dengan pemeriksaan Sudan III dapat pula diketahui adanya lemak. Pada beberapa penyakit mungkin didapatkan adanya pseudokilus, yakni pada tubekulosis paru, sindroma nefrotik, dan proses keganasan, akan tetapi dengan tes elektroforesis dapat ditemukan adanya kilomikron.

Terapi.
Terapi yang diberikan tergantung kepada penyebabnya. Apabila disebabkan oleh keganasan, maka kilotoraks akan hilang bersamaan dengan pemberian kemoterapi. Tindakan pemasangan WSD dengan pipa yang multiple (multiple tube) hasilnya akan tergantung kepada ada tidaknya perlengketan pleuran dan tertutupnya duktus. Pleurosiderosis dapat dilakukan baik dengan tetrasiklin maupun dengan nitrogen mustard. Secara teoritis tentu saja penjahitan duktus toraksikus yang bocor adalah suatu cara yang tepat apabila telah diketahui lokasinya denagn zat pewarna lipofilik. Untuk ini torakotomi eksplorasi merupakan cara untuk mengatasi kebocoran ini. Disamping itu kepada pasien diberikan diet tinggi trigliserida.

Prognosis
Pada umunya dapat menyebabkan kematian sampai 10%.

Bacaan Anjuran
  1. Richman, P. “Pleural Effusion : Neoplastic”, in Fishman, A. P. (ed), Pulmonary Diseases and Disorders, 2nd ed, Companion Handbook, New York, McGraw Hill, 1994, 274-276.
  2. Simon, M. “Plain Film and Angiographic Aspects of Pulmonary Embolisme”, in Moser, K. M., and Stein, M. (ed), Pulmonary Thromboembolisme, Year Book Medical Publishers, Inc, Chicago, 1973, 200-201.
  3. Stool, E. W., and Moser, K. M. “Pleural Effusion”, in Bordow, R. A. and Moser, K. M. (ed), Manual of Clinical Problems in Pulmonary Medicine, 2nd ed, Little Brown and Company, Boston, 1985, 49-54.
  4. Stretton, T. B. “Pleural Effusion”, in Fenley, D. C., and Lane, D. J. (ed), Medicine Respiratory, Published by Medical Education, Lmt, 1980, 747-749.
  5. Walkers, R. “Pleural Effusion : Non-neoplastic”, in Fishman, A. P. (ed), Pulmonary Diseases and Disorders, 2nd ed, Companion Handbook, New York, McGraw-Hill, 1994, 267-273.