Pages

Penyakit Pneumotoraks ( Angin Duduk )

Penyakit Pneumotoraks atau disebut juga penyakit angin duduk ini ditandai penimbunan udara di dalam rongga dada dan pleura di sekeliling paru-paru yang menyebabkan paru-paru kolaps. “Pleura adalah rongga yang terletak di antara selaput yang melapisi paru-paru dan rongga dada.” kata dr. Pad Dilangga, Sp.P.
Terdapatnya udara di dalam rongga pleura disebabkan oleh 4 hal, yakni :
  • Melalui jalan napas udara sampai ke alveoli yang berbatasan dengan pleura dan terperangkap pada saat ekspirasi.
  • Udara dapat pula masuk melalui struktur mediastinum, misalnya pada rupture esophagus oleh karena trauma.
  • Udara dapat pula masuk melalui dinding toraks yang terbuka, misalnya melalui rupture diafragma atau tusukan pada dada oleh karena trauma.
  • Mikroorganisme yang menghasilkan gas.
Tekanan yang terdapat di dalam rongga pleura adalah berkisar antara -3 sampai -5 cmH2O yang mana pada pneumotoraks dapat meningkat menjadi lebih tinggi dari 15-20 cmH2O, sehingga dapat mendorong mediastinum ke arah yang sehat.

Pneumotoraks Spontan
Pneumotoraks spontan dapat dibagi menjadi pneumotoraks primer dan pneumotoraks sekunder. Pneumotoraks primer terjadi pada pasien yang sehat tanpa disertai dengan penyakit lain, sementara itu pneumotoraks sekunder terjadi pada pasien yang disertai dengan penyakit lain, misalnya COPD.

Pneumotoraks Primer
Pneumotoraks primer biasanya terjadi pada orang muda, yakni pada usia antara 25-35 tahun. Rongga toraks tampak lebih besar, suara pernapasan menghilang, dan diagnosis pasti ditegakkan denga foto toraks posisi anteroposterior. Bila pneumotoraks yang terjadi kecil, amak kadang-kadang hanya terlihat setelah melakukan “forced expirasi” (ekspirasi bertenaga) atau dilakukan foto lateral dekubitus.

Pneumotoraks primer ditandai dengan :
  • Sekitar 25-30% akan berulang kembali pada sisi yang sama, tetapi kadang-kadang dapat juga pada sisi yang berbeda.
  • Interval terjadinya berbeda, pada umumnya setelah 1-2,5 tahun dan banyak berhubungan dengan rokok
Terapi
  • Bila kurang dari 20%, maka dibiarkan terjadi ekspansi spontan terbuka selama 1-2 minggu dan diberikan oksigen.
  • Bila lebih besar, maka harus dilakukan tindakan aspirasi atau pemasangan WSD. Jarum yang digunakan untuk aspirasi adalah jarum nomor 16 dan bila udara dalam kavum pleura terlalu banyak (4-5 liter), maka dilanjutkan dengan tindakan penghisapan yang terus menerus (continous suction).
  • Sekitas 40% kasus dapat terjadi kembali pneumotoraks, sehingga perlu dilakukan tindakan sclerosing.
  • Bila dengan sclerosing gagal, maka dapat dilakukan torakotomi. Torakotomi juga dilakukan atas indikasi gagalnya WSD untuk menimbulkan ekspansi paru dalam waktu 5 hari.
  • Pada beberapa klinik, dimana toraskopi tersedia, dapat dilakukan torakoskop, karena dengan torakoskopi dapat dilakukan pluerektomi atau dapat digunakan untuk memasukkan zat-zat sclerosing.
Pada pneumotoraks yang dosertai dengan penyakit yang mendasarinya, seperti COPD, betapapun kecilnya pneumotoraks yang terjadi tetap dapat mengancam jiwa pasien, terutama pada pneumotoraks sekunder dan oleh karena itu harus dilakukan pemasangan WSD. Apabila pasien menggunakan ventilator, maka WSD adalah satu-satunya cara untuk menjaga ekspansi paru. Oleh karena sebagian dari volume tidal hilang melalui fistula, maka untuk mengatasinya digunakan ventilator khusus, yakni ventilator dengan frekuensi yang tinggi dan volume yang rendah. Karena semakin tinggi volume tidal, maka semakin banyak pula udara yang keluar melalui fistula.

Pneumotoraks Sekunder
Pneyebab dari pneumotoraks sekunder yang terbanyak adalah COPD, disamping fibrosis interstisial dan proses keganasan. Karena pada keadaan ini faal telah buruk maka terjadinya pneumotoraks spontan dapat sangat berbahaya. Disamping itu dapat pula terjadi hipoksemia dan hiperkapnia.

Klinis
Gejala sesak napas dapat memburuk dalam waktu singkat. Kematian dapat terjadi sebelum dilakukan pemasangan WSD. Sebaliknya kegagalan pernapasan dapat terjadi beberapa jam setelah diintubasi chest tube. Terjadinya pendarahan yang masif merupakan salah satu penyebab kematian yang lain. Pada pneumotoraks sekunder ada sekitar 15% yang meninggal dan kemungkinan terjadinya pneumotoraks yang berulang adalah berkisar antara 40-50%. Walaupun dari pemeriksaan radiology dapat mudah dibaca adanya pneumotoraks, akan tetapi adanya bula kadang-kadang dapat terbaca sebagai pneumotoraks dan apabila melakukan pemasangan WSD pada bula, maka dapat berakibat fatal. Terdapatnya garis pleura yang menuju ke dalam merupakan perbedaan antara pneumotoraks dengan bula dan perbedaan ini akan semakin diperjelas bila dilakukan tomografi.

Pada pneumotoraks sekunder diperlukan WSD dengan jumlah pemasangan lubang yang banyak. Bedanya dengan pneumotoraks primer adalah pada pneumotoraks sekunder pengembang paru tidak mudah terjadi. Kadang-kadang dilakukan tindakan sclerosis paru setelah dilakukan pemasangan WSD. Komplikasi dari WSD adalah kadang-kadang didapatkan pendarahan, infeksi pleura, dan dalam pemasangan WSD harus dinilai pula apakah terdapat obstruksi bronkus yang menyebabkan paru tidak dapat mengembang sesudah WSD dipasang.

Baik oleh karena penetrasi atau tidak, pneumotoraks dapat terjadi akibat trauma toraks. Dengan robeknya alveoli maka udara dari bronkus juga mengalami kebocoran. Terdapatnya hidropneumotoraks menandakan bahwa esophagus juga ikut robek dan keadaan ini ditandai dengan tingginya amylase dalam cairan pleura.

Pneumotoraks Iatrogenik
Disebabkan oleh laserasi dari berbagai organ, terutama selama ditangani di ICU (Intensive Care Unit). Begitu pula dengan tindakan bronkoskopi kadang-kadang dapat menyebabkan robeknya paru. Komplikasi pneumotoraks mungkin pula terjadi selama pemasangan kateter vena sentral, biopsy pleura yang tertutup, atau aspirasi paru melalui dinding toraks, begitu pula pada pemakaian ventilator maupun resusitasi paru. Bila pneumotoraks yang terjadi besar dan progresif, maka dapat menyebabkan kematian.

Pneumotoraks Catemenial
Pneumotoraks kadang-kadang terjadi bersamaan dengan siklus menstruasi dan biasanya terjadi pada paru sisi kanan. Secara teoritis hal ini disebabkan oleh karena jaringan endometrium pada fase embrional mungkin terdapat di pleura. Dan endometrium ini juga mengikuti siklus menstruasi. Pneumotoraks terjadi 48 jam setelah menstruasi. Terapinya adalah diberikan obat yang dapat menghambat ovulasi dan kadang-kadang diperlukan tindakan pleurosiderosis.

Fistula Bronkopleura
Adanya fistula bronkopleura dapat menyebabkan pneumotoraks menjadi persisten setelah dipasang  WSD. Keadaan ini paling sering terjadi pada pasien yang diapsang respirator oleh karena ARDS, dimana digunakan tekanan yang tinggi. Tekanan positif pada ventilator diteruskan ke dalam pleura melalui fistula dan menyebabkan tekanan di dalam pleura menjadi positif, sehingga terjadi tension pneumothorax. Kadang-kadang dapat terjadi emfisema subkutan yang mengikuti pneumotoraks. Terdapatnya fistula pada ARDS merupakan komplikasi yang serius. Salah satu alternative untuk mengatasi hal ini adalah dengan menggunakan ventilator frekuensi tinggi.

Underwater Seal (WSD) adalah suatu cara yang efektif untuk membuat katup (valve) dimana udara dan cairan dapat dikeluarkan dari toraks.
Dalam melakukan pemasangan WSD harus diingat :
  • Harus tidak ada kebocoran
  • Diklem bila botol tidak digunakan
  • Posisi botol harus dibawah toraks
  • Metode harus asepsis
  • Drain harus diangkat setelah 24 jam
  • Pipa dada (chest tube) harus diganti setelah 7-10 hari digunakan
Bacaan Anjuran
  1. Ammons, M. A., and Johnson, M. R. “Pleural Effusion Following Trauma”, in Schwarz, M. I. (ed), Pulmonary Grands Rounds, B. C. Decker Inc, Toronto, 1990, 252-259.
  2. Clausen, J. L., “Pneumothorax”, in Bordow, R. A. and Moser, K. M. (ed), in Pulmonary Medicine, 2nd ed, Little Brown and Company, Boston, 1985, 57-61.
  3. Crofton, S. J. and Douglas, A. Respiratory Disease, 3rd ed. P. G. Publishing, Pte, Ltd, Oxford, 1983, 541-550
  4. Crompton, G. K. Diagnosis and Management of Respiratory Disease, Blackwell Scientific Publication, London, 1980.
  5. Fishman, A. P. “Pneumothorax”, in Fishman, A. P. (ed), Pulmonary Disease and Disorder, 2nd ed, Companion Handbook, New York, McGraw-Hill, 1994, 277-283.